Sumber: The Case for Jesus: the Biblical and Historical Evidence for Christ oleh Brant Pitre
Pendahuluan
Kekristenan sebagai salah satu gerakan keagamaan terbesar di dunia tidak dapat dipisahkan dari tokoh sentral bernama Yesus yang disebut Kristus. Yesus, yang disebut Kristus, diyakini sebagai pendiri gerakan Kekristenan yang sekarang ini menyebar ke seluruh dunia dengan berbagai percabangan denominasinya. Kata Kristen itu sendiri berarti “pengikut Kristus”, salah satu gelar Yesus.
Kehidupan Yesus adalah salah satu bagian terpenting dalam ajaran Kekristenan. Dalam Kekristenan, kehidupan Yesus menjadi pernyataan karya keselamatan Allah bagi umat-Nya. Dimulai dari nubuat kelahiran-Nya, kelahiran-Nya dari rahim perawan Maria, pelayanan-Nya, sengsara dan wafat-Nya di salib, dan berujung pada kebangkitan yang berakhir pada terangkat-Nya ke surga.
Ada berbagai tafsir tentang episode-episode dalam kehidupan Yesus. Ada tafsir yang mendukung keberadaan-Nya sebagai tokoh yang de facto ada dalam sejarah, namun ada juga yang menganggap-Nya tokoh ahistoris dan personifikasi guru moral belaka. Dalam tulisan ini, saya akan memaparkan ulasan Brant Pitre tentang tokoh Yesus dalam bukunya The Case for Jesus: the Biblical and Historical Evidence for Christ. Dalam buku ini Pitre akan menjelaskan bahwa Yesus adalah tokoh yang sungguh historis. Adapun saya hanya mengambil fokus pada dua episode kehidupan Yesus, yakni penyaliban dan kebangkitan-Nya.
Penyaliban
Penyaliban adalah salah satu aspek dalam hidup Yesus yang membangkitkan keraguan orang akan jatidiri-Nya sebagai Putra Allah. Rasul Paulus dalam 1 Kor 1:23 menyatakan bahwa peristiwa salib adalah batu sandungan bagi orang Yahudi dan kebodohan bagi orang Yunani. Ini dimaksudkan bahwa betapa konyolnya ide tentang penyelamat (Mesias) yang tersalib bagi orang-orang pada waktu itu.
Keraguan dan rasa ingin tahu akan penyaliban Yesus membangkitkan banyak pertanyaan seputar penyaliban itu sendiri. Brant Pitre dalam buku ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan seputar penyaliban Yesus. Pitre akan mengulas jawaban-jawaban baik dari segi historis maupun teologis sebagai penegasan akan jatidiri Yesus sebagai Messias dan Putra Allah.
Mengapa Yesus disalib? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut adalah lebih baik untuk mengetahui bahwa ada begitu banyak catatan yang menyatakan bahwa Yesus sungguh-sungguh disalib. Selain keempat Injil kanonik dan warta Perjanjian Baru lainnya, beberapa sumber-sumber tertulis seperti tulisan Josephus, Tacitus, dan Lucian dari Samosata mewartakan penyaliban Yesus.
Mengenai motif penyaliban Yesus ada begitu banyak spekulasi tentangnya antara lain karena bisa menimbulkan kudeta, mengakui diri sebagai Mesias, dan karena menghina agama. Brant Pitre dalam buku ini menyatakan bahwa peristiwa salib terjadi dilatari kejadian Yesus yang menyamakan diri-Nya dengan Allah. Kesaksian ini dapat dilihat dalam Mat. 26:59–66; Mrk. 14:53–64; dan Luk 22:66–71. Dalam agama Yahudi, pengakuan diri setara dengan Allah adalah sebuah penghinaan agama dan layak dijatuhi hukuman mati. Kesaksian akan hukuman mati ini dapat kita temukan dalam Im. 24:16.
Pertanyaan kedua yang sering ditanyakan adalah: jika Yesus adalah Putra Allah, mengapa Ia berkata, “Allahku, Allahku, mengapa Kau tinggalkan aku?”. Bagaimana menjelaskan hal ini? Bagaimana mungkin Yesus berseru bahwa Allah meninggalkan-Nya sementara Ia sendiri Ilahi? Beberapa cendikiawan seperti Albert Schweitzer dan Rudolf Bultmann menyimpulkan bahwa Yesus mengakhiri hidup-Nya dalam keputusasaan. Pitre dalam buku ini membantah pendapat tersebut.
Pitre mengajak pembaca untuk mencermati perkataan Yesus dalam konteks Yudaisme kuno. Yesus mengutip Mazmur 22. Mazmur ini adalah lagu tentang Tuhan yang akan menyelamatkan hamba-Nya yang menderita sekalipun tampaknya bagi hamba itu Tuhan menelantarkannya. Jika Yesus menyerukan mazmur serupa, Ia tidak berpikir bahwa Tuhan meninggalkan-Nya, malahan Ia yakin bahwa pada akhirnya Tuhan akan menyelamatkan Dia.
Sebelum mengakhiri pembahasan tentang penyaliban, Pitre mengajak pembaca untuk mencermati pernyataan Yesus tentang Bait Allah. Dalam Kitab Suci, ketika orang-orang Yahudi meminta tanda, Yesus menjawab mereka untuk merobohkan Bait Allah dan dalam tiga hari Ia akan membangunnya kembali (bdk Yoh. 2:18–21). Tentu saja pembaca Kristen memahami bahwa Yesus memaksudkan Bait Allah sebagai tubuh-Nya sendiri. Akan tetapi Pitre mengajak pembaca untuk beranjak lebih jauh, lebih tepatnya membaca bagian akhir Injil Yohanes.
Ada sesuatu yang terjadi pada bagian akhir Injil Yohanes. Kaki Yesus tidak dipatahkan, sebab Ia sudah mati; malah lambungnya ditikam oleh salah seorang serdadu romawi. Lalu mengalir air dan darah dari lambungnya yang ditikam dan kesaksianya tersebut diperhitungkan sebagai kebenaran (bdk Yoh. 19:31–35). Mengapa demikian? Pitre mengajak pembaca untuk melihat makna “air dan darah” yang mengalir dari sisi tubuh Yesus dalam konteks umat Yahudi abad pertama.
Perlu diketahui, penyaliban Yesus terjadi pada persiapan pesta Paskah Yahudi yang mana pada waktu itu dirayakan dengan pengorbanan domba. Ada begitu banyak domba yang dikorbankan dan seturut tradisi, semua darah domba yang dikurbankan di Bait Allah dialirkan dari altar menuju saluran air yang mengalir dari sisi bukit di mana Bait Allah dibangun. Peristiwa “darah dan air” yang mengalir dari tubuh Yesus secara persis melambangkan “darah kurban dan air” yang mengalir dari Bait Allah. Maka dapat kita katakana bahwa kurban Yesus di salib adalah kurban Paskah. Namun ada hal yang perlu diperhatikan lagi. Perlu diingat, Bait Allah dalam konteks umat Yahudi adalah tempat dimana Allah sendiri hadir di bumi. Jika tubuh Kristus disamakan dengan Bait Allah yang mana Ia sendiri adalah kurban, maka siapakah yang bersemayam di dalam tubuh Yesus? Allah sendiri. Maka tepatlah sabda Yesus, “Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi Bait Allah (bdk Mat. 12:6)”.
Kebangkitan
Setelah membahas kematian Yesus disalib, sekarang kita akan ke pembahasan tentang kebangkitan Yesus. Pada bagian ini Pitre mengajak pembaca untuk menjawab beberapa pertanyaan yang sering timbul bila membahas kebangkitan Yesus. Pertama, apa yang tidak dimaksudkan dan apa yang dimaksudkan dengan kebangkitan? Kedua, mengapa banyak orang Yahudi pada abad pertama percaya bahwa Yesus sudah bangkit dari kematian?
Pertanyaan pertama sangat penting untuk dibahas supaya para pembaca dapat memahami pewartaan para murid tentang Yesus yang sudah bangkit. Brant Pitre mnunujukkan kepada para pembaca sekurang-kurangnya tiga hal yang tidak dimaksudkan oleh para murid ketika menyatakan, “Yesus sudah bangkit.” Hal pertama adalah bahwa kebangkitan Yesus tidak berarti “kembali ke kehidupan duniawinya yang sebelumnya” seperti yang dialami oleh Lazarus dan putri Yairus yang setelah bangkit pasti akan mati lagi. Hal kedua adalah ketika para murid mewartakan kebangkitan Yesus, mereka tidak mengatakan bahwa jiwa/roh Kristus tinggal bersama Tuhan. Mereka menyatakan kebangkitan tubuh Yesus; tentang sesuatu yang berbeda yang terjadi pada jasad-Nya. Terakhir, mereka tidak menyatakan Ia terangkat ke surga setelah kematiannya. Adapun ide tersebut populer di kalangan cendikiawan yang menolak kebangkitan Yesus. Padahal Alkitab secara jelas membedakan kebangkitan badan Yesus dengan kenaikan-Nya ke surga (bdk Yoh 20: 16–17). Lalu apa yang dimaksudkan oleh para murid bahwa Yesus telah bangkit?
Pitre dalam buku ini memberikan tiga hal yang bisa membantu pembaca untuk memahami maksud para murid tentang kebangkitan Yesus. Hal pertama adalah Yesus yang bangkit memiliki tubuh fisik, tidak seperti hantu yang tidak memiliki tubuh fisik (bdk Luk 24: 36–43). Hal kedua adalah bahwa Yesus yang bangkit memiliki tubuh yang sama dengan yang Dia miliki sewaktu masih hidup, Ia masih memiliki bekas-bekas luka penyaliban (bdk. Yoh 20:24–29). Hal terakhir adalah bahwa tubuh Yesus yang sudah bangkit adalah tubuh yang sudah ditransformasi.
Setelah menjawab pertanyaan pertama, Pitre mengajak pembaca untuk menjawab pertanyaan kedua yang berkaitan dengan alasan orang percaya akan kebangkitan Yesus. Ada beberapa alasan yang dipaparkan Pitre untuk menjawab pertanyaan kedua ini. Alasan pertama adalah para murid percaya akan kebangkitan Yesus karena kubur yang kosong (bdk Mat. 28: 1–8; Mrk. 16: 1–8; Luk. 24: 1–12; Yoh. 20: 1–10). Alasan kedua adalah karena penampakan Yesus yang bangkit kepada orang-orang yang mengenali-Nya. Yesus menampakkan diri kepada banyak orang, misalnya kepada Maria Magdalena (bdk Mat 28: 1–10; Yoh. 20: 14–18), kepada kesebelas murid (Mat 28: 16–20; Yoh. 20: 19–29), kepada Cleopas dan seorang murid yang tidak disebutkan namanya (bdk Luk. 24: 13–35), kepada lebih dari lima ratus orang sekaligus (bdk 1 Kor. 15: 6), bahkan kepada Saulus (1 Kor. 15: 8). Ada bantahan atas alasan kedua ini. Beberapa ahli menolak kebenaran narasi kebangkitan Yesus dengan alasan ada perbedaan detail dalam cerita-ceritanya. Pitre dalam buku ini membantah keraguan tersebut. Baginya, perbedaan detail cerita tidak berarti Yesus tidak bangkit dan tidak menampakkan diri kepada para murid-Nya. Alasan terakhir yang membuat orang percaya bahwa Yesus telah bangkit adalah karena Ia bangkit sesuai dengan nubuat Kitab Suci (bdk Luk 24: 45; Yoh. 20: 8–9; 1 Kor 15: 3–4). Pertanyaan selanjutnya: nas manakah yang digenapi oleh kebangkitan Yesus?
Brant Pitre dalam buku ini mau menyoroti “Tanda Yunus” sebagai salah satu nubuat yang digenapi oleh kebangkitan Yesus (bdk Mat. 12: 38–41 dan Luk 11: 29–32). Beliau menjelaskan dengan sangat baik pengalaman membaca kitab Yunus dalam Bahasa Ibrani yang memberinya pencerahan berkaitan dengan tanda Yunus. Menurut Pitre, tidak pernah dikatakan dalam Kitab Suci bahwa Yunus tetap hidup di dalam perut ikan. Sebenarnya dikatakan bahwa Yunus mati di dalam perut ikan. Bagaimana bisa hal ini terjadi?
Ada beberapa alasan yang dipakai oleh Pitre untuk membuktikan bahwa Yunus mati di dalam perut ikan. Alasan-alasan ini berasal dari telaah Pitre atas doa ucapan syukur yunus dalam perut ikan (bdk Yun. 2: 1–10) Alasan pertama, Yunus berkata bahwa Ia berseru kepada Tuhan dari “dunia orang mati” dan “liang kubur”; ini adalah ungkapan biasa dalam Perjanjian lama tentang dunia orang mati (bdk. Mzm 139: 7–8; Ayb. 17: 13–16; 33:22–30). Alasan kedua, ketika Yunus berkata “jiwanya letih lesu di dalamnya (bdk. Yun 2:7)”, sebenarnya ini adalah ungkapan lain bahwa ia mati. Pitre menamakan ungkapan doa Yunus sebagai nafas terakhir dari orang yang sedang sekarat (the last gasp of a dying man). Alasan ketiga dapat dilihat dari peristiwa setelah Yunus dimuntahkan oeh ikan ke darat. Kata yang dipakai oleh Allah untuk membangunkan Yunus “Bangunlah” berasal dari dari Bahasa Ibrani: qum (bdk. Yun 3:2). Kata ini memiliki kesamaan Semitik dengan kata yang dipakai oleh Yesus untuk membangkitkan putri Yairus, “Talita kum” (bdk. Mrk 5:41). Apakah nubuat tanda Yunus berakhir di sini saja? Tentu saja tidak. Pitre menemukan pemenuhan lainnya dari tanda Yunus dalam kebangkitan Yesus. Sebagaimana pewartaan Yunus setelah dimuntahkan dari perut ikan (kematian) membawa pertobatan bagi orang-orang Niniwe (bangsa-bangsa asing), demikian juga pewartaan Yesus yang bangkit dari kematian membawa pertobatan bagi bangsa-bangsa lain.
Kristus Tanda Pengharapan
Studi tentang Yesus historis memang sangat penting dalam penafsiran Kitab Suci. Hal ini tentu bertujuan agar umat memiliki pandangan yang sehat dan seimbang tentang tokoh Yesus. Namun kita diharapkan bukan hanya berhenti pada pemahaman tersebut. Kesaksian Kitab Suci akan wafat-Nya bagi dosa-dosa dunia dan kebangkitan-Nya yang menguatkan pewartaan akan keilahian-Nya hendaknya memberikan pengharapan bahwa manusia bisa diselamatkan dan dibangkitkan kelak untuk bersatu dengan Allah.